Juni 04, 2009

Politik Kebangsaan, Keikhlasan Menjadi Indonesia

Oleh Amsar A. Dulmanan

Negara adalah institusi politik modern yang dirancang agar mampu melaksanakan misi dari kepentingan suatu bangsa. Begitu pun Indonesia sebagai Negara kesatuan berbentuk Republik adalah salah satu Negara nasional, dan sejak awal oleh The Founding Fathers dihadirkan untuk mengemban tugas-tugas serta melayani bangsa Indonesia, termasuk eksistensi membangun dirinya menjadi bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.


Proses kehadiran dan keberadaannya bila ditelusuri bisa dikatakan melalui atau menggunakan cara-cara “demokrasi”. Mereka berdiskusi, berdebat dan berargumentasi sebelum bermufakat dalam suatu konsensus. Tradisi bermusyawarah untuk mufakat inilah yang menjadi amanat sebagai suatu kebijakan penting, tertuang menjadi sila keempat yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Konsep musyawarah mufakat ini yang sesungguhnya ciri “kekuasaan” Indonesia dengan tidak mengedepankan “Voting” sebagai pilihan terbaik kecuali digunakan bila sangat diperlukan saja.

Namun, karena perkembangan, letak geografis serta keinginan berkuasa manusia Indonesia saat ini, maka amanat para pendahulu tersebut diingkari, bahkan dinegasikan. Konsep-konsep filosofis dasar bernegara (baca-Pancasila) diabaikan dan dianggap sesuatu yang ortodok dan tidak modern sehingga ketinggalan jaman dalam perkembangan politik ke Indonesiaan hari ini. Sementara bila dicermati keinginan melakukan perubahan atas sesuatu yang pundamental itu tidak dilakukan sebagai studi yang serius dengan melihat variabel yang menyertainya.

Kelalaian itulah yang selanjutnya dalam proses reformasi menempatkan bangsa Indonesia pada situasi gamang, satu sisi ingin meninggalkan ”amanat” pendahulu dengan argumen kurang demokratis, tetapi pada sisi lain ternyata perubahan yang dilakukan tidak dilandasi dengan ”granddesign, kecuali sebagai kepentingan dari muatan liberalisme, yakni kebebasan pasar. Pada posisi ini, kekuasaan atau kedaulatan rakyat sebatas alat yang diperhadapkan dengan otoriterianisme rejim berkuasa.

Terlebih gagasan serta langkah-langkah perubahan yang terjadi malah menjauhi nilai dan potensi sosial politik sebagai kepribadian “kekuasaan” Indonesia. Sebagai Kekuasaan—Indonesia-- yang guyub, sahaja, akrab dan penuh kekerabatan dalam satu kesatuan yang tidak terpisah, begitu juga tradisi kegotong-royongannya, adalah sesuatu yang tidak ditemukan dalam tradisi-tradisi kekuasaan “demokratisasi” Eropa.

Dunia Barat secara historis membangun tradisi kekuasaannya dari pertentangan, sengketa dan koflik-konflik yang meluluhlantakan rumpun sosial yang kalah. Sementara Indonesia, sebagai memilik budaya “kekuasaan” Timur berproses sebagai bagian atau kelompok-kelompok yang saling menghargai tanpa harus memusnahkan, pertentangan selalu dilakoni dengan dialog dalam mejelis para adat dan kesepuhan, sebagai tradisi musyawarah mufakat. Kenyataan inilah yang diletakan oleh Almond (1956) dalam tindakan “budaya politik”, yang merupakan pola-pola dari tindakan politik yang lekat sebagai system politik suatu Negara. Bagi Almond budaya politik memiliki otonomi tertentu --tetap berhubungan dengan budaya umum-- ia tidak serta merta hadir bersama-sama dengan sistem politik mengingat pola-pola orientasi politik melampaui batas-batas sistem politik, sebagai karakteristik nasionalisme dan etos budaya yang dominan mempengaruhinya.

Dalam The Civic Culture (1963) Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik dalam pengertian orientasi politik dan sikap-sikap yang dipegang individu-individu dalam berhubungan dengan sistem politiknya, yang terinternalisasikan lewat perenungan, perasaan dan evaluasi penduduknya. Orang terbujuk untuk melakukannya ketika mereka tersosialisasikan ke dalam peran-peran non politik dan sistem sosial. Hal ini merupakan orientasi-orientasi kognitif untuk menyertakan pengetahuan dan keyakinan-keyakinan menyangkut sistem politik, para pemimpinnya dan operasinya.

Lalu secara afektif melibatkan perasaan terhadap sistem seperti rasa keterlibatan atau pengucilan. Sedangkan orientasi-orientasi evaluatif terdiri dari penilaian dan opini tentang sistem dan mungkin menyertakan, misal pada Indonesia penerapan nilai-nilai seperti norma-norma permusyawaratan perwakilan dan demokrasi langsung bagi Barat.

Sementara Orientasi-orientasi tersebut merupakan basis tipe-tipe budaya politik dan menjadi postulat dengan tiga tipe budaya politik yang menyertainyayaitu parochial (picik, sempit), yang menyiratkan bahwa individu-individu memiliki pengharapan dan kepedulian yang rendah terhadap pemerintah dan umumnya tidak merasa terlibat. Budaya politik “subyek”, yaitu individu-individu peduli dengan keluaran-keluaran yang dicapai pemerintah namun tidak berpartisipasi dalam proses-proses yang menghasilkan keputusan-keputusan kebijakan. Sedang pada budaya politik “partisipan” adalah individu-individu bersikap aktif dan terlibat dengan sistem secara utuh, yaitu dalam proses-proses input maupun outputnya.

Kembali pada pembentukan Negara “nasional” Indonesia, memang merupakan proses dalam tahapan kesadaran berbangsa, berbahasa dan bertanah-air untuk menjadi Indonesia dengan kompleksitas didalamnya, sehingga menghendaki kerelaan menegasikan otoritas yang dominan untuk meletakan potensi-potensi obyektif demi menguatnya kebangsaan Indonesia. Contoh yang signifikan adalah ketika bahasa melayu –sebagai kelompok minoritas-- disepakati menjadi bahasa Indonesia pada 28 Oktober 1928, sehingga Indonesia menjadi sedikit Negara yang memiliki bahasa persatuan.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa pembangunan bangsa Indonesia, menjadi merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur tidaklah selesai bersamaan integrasi nasional. Justru pada integrasi nasional itulah baru mulai membangun sebuah kesadaran Ipoleksosbud Hankam (Ideologi, politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan dan keamanan, termasuk bidang hokum). Pada konteks pembangunan “manusia” Indonesia dalam perspektif kebangsaan atau nasionalisme yang Indonesia tentu saja dibutuhkan kecakapan menelaah disain dasar “Indonesia” sebagai Negara Kesatuan berbentuk Republik, yang mahfum sebagai NKRI.

Setidaknya pada wacana dan gagasan para Begawan yang terlibat dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau BPUPKI, sehingga terpahami proses keikhlasan untuk menjadi Indonesia yang konsep pemikirannya tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945 berikut penjelasannya –sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Begitu pula dalam pelacakan Dekrit Presiden 1959, yang kembali pada UUD 1945 dengan catatan tetap dijiwai oleh Piagam Jakarta. Keseluruhan sejarah yang terjadi merupakan proses menjadikan Indonesia yang tidak sekuler, tetapi merupakan Negara yang tetap dan konsisten menegakan “tauhid” keagamaannya, juga ketika menegasikan bentuk monarkis adalah pilihan pada watak kebangsaan dan keragamannya.

Bahkan telaah lebih detil bahwa memilih menjadi “khas” Indonesia, yang bukan Barat (bukan sosialis atau liberalis), idea dan gagasannya telah termaktub dalam Pembukaan UUD ’45. Yaitu pertama sebagai Negara nasional, agar dapat “berkehidupan kebangsaan yang bebas”, yang berdimensi “politis” atas Kemerdekaan, persatuan dan kedaulatan Indonesia, mewujudkan keadilan dan kemakmuran sebagai tanggung jawab Indonesia --siapapun rejim berkuasa—pada dimensi sosial budaya dan ekonomi.

Kedua, bahwa Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat, secara koseptual dan konstitusional “Rakyat” Indonesia terjelmakan sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Lembaga Negara Tertinggi. Lalu mengangkat Presiden, yang bertanggungjawab penuh kepada MPR. Paham “kedaulatan rakyat” adalah pengakuan implisit terhadap hak asasi manusia dan hak-hak serta kewajiban warganegara
Ketiga, Indonesia diletakan bukan sebagai Negara Kekuasaan (Machstaat), melainkan sebagai Negara berdasar atas Hukum (Rechsstaat). Disini Negara mengidentifikasikan diri sebagai penegak norma moral dalam sanksi hukum. Dengan demikian, “kekuasaan” Negara hanyalah sarana untuk menegakkan seperangkat nilai moral sebagai norma dasar Negara (staatsfundamentalnorm).

Keempat, Norma dasar itu yang terwujud sebagai Pancasila, yang terejawantahkan menjadi dasar Negara Republik Indonesia; dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indoensia. Selanjutnya Pancasila menjadi norma hukum yang mempunyai nilai konstitusional (UUD 1945), yang secara hirarkis adalah dasar konstitusi keseluruhan “proses” pembentukan hukum. Sehingga menjadi dasar kewenangan lembaga penyelenggara Negara, tentang hak dan kewajiban asasi warganegara dalam segala kekuasaan teritorial.

Kelima, berbeda dengan teori kenegaraan Eropa, yang mempertentangkan Negara dengan rakyat atau pemerintah dengan rakyat, para Pendiri NKRI memaknai Indonesia sebagai satu kesatuan dan tidak terpisah (integrate) antara Rakyat, Pemerintah dan Wilayah. Tatanan ini sebagai manifestasi “Cita Negara Persatuan Indonesia”, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Mencermati prinsip ketegaran Indonesia menjadi suatu Negara kesatuan, maka bukan suatu keanehan jika Nahdlatul Ulama di tahun 1936 sudah mengikrarkan diri dan konsisten bahwa “Indonesia” merupakan bentuk final dari pilihan berbangsa dan bernegara. Lalu ketika awal kemerdekaan, NU harus mempertahankannya dalam fatwa “resolusi jihad” Nopember 1945, termasuk menerima Pancasila sebagai asas bernegara di Muktamar Kraprak Yogyakarta 1984, disamping pencoretan tujuh kata dalam “Jakarta Charter” dan menggantinya dengan kata “Yang Maha Esa” dalam Pembukaan UUD 1945.*
Jakarta, 22 Maret 2009 Amsar A. Dulmanan adalah Peneliti Nusantara Institute, Kordinator Nasional FK-GMNU dan kandidat Master Politik Universitas Indonesia.

(Amsar A. Dulmanan adalah Peneliti “Institut Nusantara” dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia).

0 komentar: