Oktober 07, 2009

Legislator Minimalis

Oleh Al Andang L Binawan

Anggota DPR dan anggota DPRD di daerah telah dilantik meski sedikit orang yang optimistis.

Alasannya bukan karena biaya pelantikan yang amat besar, tetapi dari keberadaan mereka. Bahkan, Budiman Sudjatmiko, yang mewakili petani dan nelayan Banyumas, secara implisit menuliskan, betapa sulit perjuangannya (Kompas, 2/10/2009).

Minimalisme legislator

Pesimisme terhadap para legislator baru sebenarnya sudah bisa diduga secara common sense. Mereka adalah produk dari sebuah paket undang-undang politik, termasuk UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, yang pada dasarnya adalah sebuah produk negosiasi politik. Salah satu kata kunci dari negosiasi politik adalah kompromi, dan karena itu produk hukumnya akan bersifat minimal. Logikanya menjadi jelas: produk hukum yang minimal pasti juga akan menghasilkan produk legislator yang minimal.


Sifat minimal ini jelas menimbulkan pesimisme. Hal ini diungkapkan oleh Koordinator Divisi Riset Indonesian Parliamentary Center, Ahmad Hanafi (Kompas, 3 Oktober 2009). Baginya, alasan pokoknya adalah bahwa sebagian besar (71 persen) anggota DPR adalah muka baru. Dikhawatirkan bahwa kurangnya pengalaman ini membuat kinerja DPR dalam membuat undang- undang menjadi tersendat.

Jelas ada alasan lain yang lebih hakiki. Menurut data, sebanyak 63,7 persen anggota DPR 2009- 2014 ternyata tinggal (sesuai dengan KTP) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, serta Bekasi, dan bahkan hampir separuh (45,5 persen) dari total jumlah anggota legislatif pusat bertempat tinggal di DKI Jakarta (Kompas, 16 Juni 2009). Data ini menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana mereka bisa menjadikan dirinya sungguh mewakili daerah pilihannya? Tentu, banyak yang bisa mengelak bahwa kartu tanda penduduk (KTP) hanya tempat tinggal dan relasi antara yang mewakili dan yang diwakili bisa dijalin dengan cara lain.

Akan tetapi, data itu tetap saja memberi keraguan besar pada klaim bahwa anggota DPR sungguh adalah wakil rakyat. Di satu sisi pertanyaan akan terkait dengan proses keterpilihannya, apakah sungguh berdasar suatu prinsip demokrasi yang sesungguhnya atau sekadar demokrasi prosedural. Pengalaman dalam pemilu yang lalu menunjukkan bahwa popularitas dan uang menjadi kunci penting dari keterpilihan seorang calon anggota legislatif. Cukup banyak artis atau selebriti dan pengusaha yang bisa meraih banyak suara dan kemudian diangkat menjadi wakil rakyat.

Masih ada data lain, misalnya keprihatinan para pemerhati hak perempuan. Menurut perhitungan, hanya ada 17,5 persen perempuan anggota DPR 2009-2014. Tentu ini masih jauh dari 30 persen yang diharapkan. Tentu ada kekhawatiran bahwa produk hukum ke depan masih memuat bias jender yang besar.

Minimalisme legislasi?

Bahwa hukum bersifat minimal sebenarnya sudah dimaklumi umum. Hukum modern bukanlah hukum yang diturunkan secara deduktif dari suatu gagasan komprehensif. Hukum modern, termasuk hukum sipil di Indonesia, adalah produk dari negosiasi politik dalam kerangka besar ideologi Pancasila sebagai cakrawala dan nilai hak asasi manusia sebagai dasarnya.

Tetap diandaikan di sini bahwa setiap wakil yang bernegosiasi sungguh berfungsi maksimal. Namun, jika melihat data minimalnya—setidaknya secara kuantitatif—profil anggota DPR 2009- 2014, kekhawatiran akan makin minimalnya kualitas hukum di kurun lima tahun ke depan sangat beralasan. Apalagi, pengalaman dengan kinerja anggota DPR periode 2004-2009 menguatkan keraguan ini. Adanya anggota DPR yang suka bolos, yang korupsi, yang terlibat skandal, jelas menguatkan kekhawatiran ini. Pun, pada akhir masa baktinya, mereka masih menyisakan banyak pekerjaan rumah dengan produk hukum yang kualitasnya terasa sangat minimal. Misalnya, UU Perfilman masih memprihatinkan para pekerja film atau RUU Tipikor dikatakan masih punya banyak celah.

Pendeknya, sekali lagi, hukum adalah sebuah produk negosiasi politik. Karena itu, hukum hanya bisa menjamin keadilan minimal. Jika yang bernegosiasi juga punya kualitas minimal, sangat dikhawatirkan bahwa produk hukum nanti akan bersifat semakin minimal.

Maksimalisasi

Kekhawatiran atau pesimisme itu wajar, sangat bisa dipahami. Meski begitu, rakyat tidak banyak bisa menuntut. Yang sekarang diharapkan adalah agar pesimisme ini dijadikan tantangan bagi para legislator, bukan hanya secara pribadi, melainkan juga secara kelembagaan.

Setiap pribadi legislator mungkin memang bisa menyanggah data umum di atas dengan mengatakan bahwa hal itu tidak berlaku pada dirinya. Tidak dilarang, tentu, tetapi yang lebih diharapkan adalah bukti ke depan dengan memaksimalkan seluruh kualitas pribadinya agar memang bisa menjadi suara rakyat.

Secara kelembagaan, diharapkan dibuat mekanisme atau aturan main yang bisa menutup kekurangan umum ini. Aturan sebagai struktur eksternal akan bisa membantu para legislator ini memaksimalkan hal-hal minimalnya. Harapan yang lebih jauh, hendaknya—dengan itu—para legislator ini bisa membuat hukum yang lebih berkualitas. Produk hukum ini tentunya termasuk juga undang-undang politik yang berkualitas, yang kelak juga bisa melahirkan legislator-legislator baru yang juga lebih berkualitas. Mimpinya, dengan itu negeri ini tidak terjebak dalam lingkaran setan masalah politik dan hukum. Selamat bekerja. Selamat memaksimalkan yang minimal.

Al Andang L Binawan Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/08/02445726/legislator.minimalis

Selengkapnya.....

Juli 09, 2009

Kupas Kilas Pilpres 2009

Oleh Budi H. Wibowo

8 Juli 2009 adalah momentum sejarah yang akan tercatat dalam lembar sejarah perkembangan demokratisasi di Indonesia. Generasi-generasi berikutnya akan selalu mengingat bahwa tanggal tersebut menjadi tonggak tersendiri bagi kemajuan dan sekaligus pengalaman berharga yang dapat menjadi pelajaran berarti di masa datang. Berbagai kontroversi yang menyeliputi pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) presiden 2009 –mulai dari awal hingga pelaksanaannya— menjadi bahan penting untuk kelanjutan masa depan kehidupan demokrasi.


Pemilu presiden (pilres) 2009 adalah pemilu kedua yang dilaksanakan secara langsung di mana rakyat Indonesia secara langsung memilih calon presiden dan calon wakil presiden pilihan mereka. Rakyat sekali lagi telah diberikan tempat “istimewa” dalam alam demokrasi Indonesia karena selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.

Peran penting rakyat dalam pilpres 2009 sempat “terganggu” dengan adanya kisruh mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT). Namun, hal ini minimal dapat teratasi dengan adanya Putusan MK perihal memperbolehkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang disertakan Kartu Keluarga (KK) dan Paspor bagi warga yang tidak tercantum dalam DPT. Walhasil, warga negara pada 8 Juli 2009 –yang semula tidak dapat memilih karena tidak ada dalam DPT—dapat memilih dan menggunakan haknya sehingga warga negara/rakyat dapat berpartisipasi.

Laporan Penggunaan Dana Kampanye
Nampak jelas dalam penglihatan dan pendengaran kita, bahwa para capres-cawapres pada pilpres 2009 dengan sungguh-sungguh ingin memikat hati rakyat agar memilih mereka. Berbagai macam jenis iklan yang disungguhkan melalui media televisi, radio, internet, media cetak, dan sebagainya memberikan kesan bahwa kesungguhan tersebut memang patut diapresiasikan meskipun tidak sedikit biaya yang dikeluarkan karena iklan-iklan tersebut.

Berdasarkan data KPU (lihat www.kpu.go.id) sampai tanggal 5 Juli 2009 tercatat dana kampanye ketiga pasangan capres-cawapres masing-masing adalah 1. Mega-Prabowo sebesar Rp. 257.600.050.000,-; 2. SBY-Boediono sebesar Rp. 200.470.446.232,-; dan 3. JK-Wiranto sebesar Rp. 83.327.864.390,-. Dari jumlah dana kampanye tersebut jelas tersirat bahwa betapa besarnya modal bagi seorang capres-cawapres yang berkompetisi memperebutkan kursi kepresidenan.

Modal yang besar itu patut untuk diperiksa sehingga kecurigaan-kecurigaan seperti pada pemilu 2004 tidak terjadi. Misalnya pada pemilu 2004 sempat terdapat kecurigaan penggunaan dana kampanye yang diawali dengan adanya pengakuan Amien Rais yang menerima dana dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Kecurigaan Amien tersebut sempat memicu ketegangan pasca pemilu 2004 (lihat Kompas, 4 Juni 2007).

Terkait dengan itu, maka pengalaman pada pilpres 2004 patut menjadi pelajaran tersendiri bagi publik untuk tidak saja hanyut dalam euforia kemenangan salah satu capres-cawapres tetapi lebih dari itu harus memperhatikan secara jelas laporan penggunaan dana kampanye sebagai wujud amanat undang-undang yang menyebutkan bahwa pasangan capres-cawapres dan tim kampanye melaporkan penggunaan dana kampanye kepada KPU paling lama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa kampanye (lihat Pasal 100 UU No. 42 Tahun 2008).

Antisipasi Perselisihan Hasil Pilpres
Bagi capres-cawapres dan para tim suksesnya yang berdasarkan perhitungan cepat (quick count) merasa telah “menang” tentunya telah bersyukur dan berucap “selamat”. Tetapi hal ini tentunya masih menunggu penetapan hasil pemilu yang diumumkan oleh KPU (30 hari sejak pemungutan suara dilakukan). Suasana gembira dan suka ria capres-cawapres yang oleh sementara perhitungan dianggap menang. Berdasarkan quick count capres-cawapres SBY-Boediono berada pada urutan nomor satu alias “pemenang” karena memperoleh hampir 60 persen lebih suara pemilih dibandingkan dengan kompetitor lainnya.

Sembari menunggu pengumuman resmi KPU mengenai hasil perhitungan suara pada pilpres 2009 maka sudah sepatutnya bagi para kontestan pilpres menyiapkan dan mempersiapkan bahan dan data jika dianggap terjadi perbedaan suara ataupun hal-hal terkait dengan suara yang diperoleh mereka. Mengapa demikian? Karena hal inilah yang mungkin kurang diperhatikan oleh para kontestan dan juga merujuk pada pengalaman pelaksanaan pemilu legislatif beberapa waktu lalu di mana bahan dan data yang dapat dijadikan bukti untuk diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi kurang memadai.

Kesiapan dan persiapan dari masing-masing kontestan baik yang sementara dianggap menang maupun yang sementara dianggap kalah adalah penting dilakukan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa berdasarkan Pasal 159 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 capres-cawapres yang terpilih menjadi presiden adalah yang memenuhi lebih dari 50 persen jumlah suara dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Paling tidak untuk kesiapan dan persiapan mengantisipasi perselisihan hasil pilpres yang mungkin diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi para capres-cawapres perlu mengetahui pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilu presiden dan wapres, terutama yang terkait dengan alat bukti. Alat bukti dimaksud adalah surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, dan petunjuk (lihat Pasal 9 PMK No. 17 Tahun 2009).

Antisipasi perselisihan hasil pilpres ini juga seharusnya dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggaran pilpres karena ketika nantinya hasil pilpres ternyata diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi maka KPU jelas akan menjadi pihak terkait guna menguji bukti-bukti dari para pemohon (capres-cawapres).

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika ternyata putusan MK atas perkara PHPU Pilpres mengubah komposisi hasil piplres 2009? Misalkan pasangan capres-cawapres SBY-Boediono yang telah mendapatkan hasil lebih dari 50 persen suara pemilih dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia berubah karena adanya Putusan MK yang mengabulkan permohonan capres-cawapres Mega-Prabowo sehingga menyebabkan suara SBY-Boediono menjadi tetap lebih dari 50 persen suara dengan 15 persen suara di setiap provinsi. Artinya, meskipun terpenuhi lebih dari 50 persen suara tetapi ternyata akibat Putusan MK suara SBY-Boediono tidak mencapai 20 persen suara di setiap provinsi. Apa yang akan terjadi? Tentunya dapat mengakibatkan pilpres putaran kedua digelar.

Oleh karena itu, bagi para capres-cawapres antisipasi berbagai hal termasuk perselisihan hasil pilpres harus disiapkan sehingga masalah yang mungkin terjadi dapat diatasi dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan agar penetapan presiden dan wapres terpilih tidak berlarut-larut karena agenda implementasi program kerja dari presiden-wapres terpilih sudah ditunggu rakyat.

sumber: http://bhariwibowo.blogspot.com/2009/07/kupas-kilas-pilpres-2009.html

Selengkapnya.....

Juni 29, 2009

Capres-Cawapres: Pelayanan Publik, Janji yang Terlewatkan

Oleh Budi H. Wibowo

Dari tiga pasangan capres-cawapres yang akan merebutkan tampuk kepemimpinan nasional di negeri ini masih belum ada satupun yang secara tegas “menjanjinkan” perbaikan terhadap pelayanan publik. Apakah hal ini terlupakan oleh ketiga pasangan tersebut ataukah memang sengaja tidak menjadi bahan kampanye mereka mengingat sulitnya mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik di Indonesia? Pertanyaan semacam ini pantas digelontorkan karena ternyata dari program-program yang dijanjikan lewat kampanye ketiga capres-cawapres belum nampak secara spesifik yang menyebutkan perbaikan pelayanan publik.


Meskipun pada 23/6 lalu anggota DPR telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik untuk menjadi undang-undang namun hal ini belum menjadi jaminan terlaksananya kebijakan tersebut. Karena meskipun terdapat aturan yang mengakomodir pelayanan publik namun bila capres-cawapres yang notabene nantinya menjadi pelaksana undang-undang tidak atau belum secara tegas menjadikan program peningkatan pelayanan publik ke dalam programnya maka tidak ada guarantee yang cukup atas keberhasilan pelaksanaan dari aturan tersebut.

Mengenai program capres-cawapres terutama untuk pelayanan publik masih hanya sebatas digulirkan oleh para tim sukses dari masing-masing capres-cawapres saja. Misalkan tim pasangan Mega-Prabowo melalui Maruarar Sirait menjanjikan adanya perubahan dan kemudahan dalam pelayanan publik dengan mencontohkan untuk menyelesaikan persoalan Lapindo karena itu merupakan bagian dari tugas melayani rakyat. Sementara dari tim pasangan SBY-Boediono lewat tim suksesnya Zulkiflimansyah berpandangan bahwa reformasi birokrasi harus dilakukan sebagai upaya meningkatkan pelayanan publik. Sedangkan dari tim pasangan JK-Wiranto melalui juru bicaranya Indra J. Pilliang menjanjikan pelayanan publik yang permanen dan efisien.

Dari ketiga tim sukses masing-masing pasangan capres-cawapres tersebut dapat kita lihat bahwa belum ada blue print yang jelas dan tegas mengenai perbaikan pelayanan publik. Semua yang diutarakan dari ketiga tim sukses di atas masih merupakan bumbu dari menu kampanye para capres-cawapres. Kenapa tidak bila memang beritikad baik maka seharusnya tim sukses tersebut menyiapkan secara matang grand design pelayanan publik Indonesia 2009-2014, jangan hanya program-program yang parsial dan nyata-nyata hanya sebagai “jualan obot” belaka dalam masa kebutuhan suara seperti sekarang ini. Jika nanti benar-benar terpilih tidak menjamin pelaksanaan perbaikan pelayanan publik tersebut.

Agar grand design ataupun blue print pelayanan publik masing-masing capres-cawapres benar-benar serius maka perlu dan penting kiranya dilakukan semacam “kontrak politik” tersendiri terutama mengenai pelayanan publik beserta breakdown dari program pelayanan publik tersebut sehingga ini dapat menjadi “jaminan” bila nanti terpilih mereka akan dapat “dituntut” oleh rakyat yang notabene menjadi pemilihnya.

Bagi-bagi Kue Kekuasaan
Lagi-lagi dan sudah menjadi rahasia umum jika masa-masa kampanye seperti ini semua orang yang menjadi capres-cawapres dan sekitarnya selalu menggaungkan janji-janji kepada masyarakat untuk mendapat simpati dan kepercayaan. Namun, sudah seharusnya disadari oleh para capres-cawapres bahwa janji tidaklah sekedar menjadi janji belaka tetapi harus dilaksanakan. Begitu juga dengan pelayanan publik di Indonesia. Sudah semestinya konsentrasi mereka difokuskan pada perbaikan pelayanan publik yang memang terkenal sudah payah.

Apabila hal ini tidak secara serius menjadi wilayah garapan para pasangan capres-cawapres maka sudah dapat dipastikan bahwa yang bakal terjadi nantinya ketika kekuasaan sudah diperoleh adalah bagi-bagi kue kekuasaan. Dan untuk program-program yang pernah mereka umbar dalam masa-masa kampanye sirna begitu saja. Mengapa hal ini penting? Sederhana saja kita coba mengasumsikan dengan kondisi jika salah satu pasangan capres-cawapres tersebut terpilih nantinya maka mereka pastilah pada 100 hari pertama memerintah akan sangat disibukkan dengan pembentukan dan formasi kabinet, selanjutnya mereka akan disibukkan juga dengan menyusun agenda kerja pemerintahan ke depan plus pergeseran di seluruh lini departemen untuk diisi oleh “orang-orang kepercayaan dan yang berjasa kepada mereka”, belum lagi agenda kunjungan mereka ke luar negeri untuk menyapa para tetangga sekaligus untuk “stor” muka dan masih banyak lagi kesibukan lainnya.

Jika sudah seperti itu maka kapan waktu mereka untuk menunaikan janji-janji yang pernah mereka dengungkan kepada masyarakat. Bisa jadi tidak ada waktu sama sekali karena alasan kesibukan yang luar biasa tersebut. Oleh karena itu, penting meskipun minimal dengan adanya kontrak politik yang ditandatangani oleh para capres-cawapres di saat masa kampanye dilakukan untuk menjadikan jaminan.

sumber: http://bhariwibowo.blogspot.com/2009/06/capres-cawapres-pelayanan-publik-janji.html

Selengkapnya.....

Juni 08, 2009

"Argumentum ad Populum"

Oleh: Ignas Kleden

Menghadapi kampanye calon presiden dan calon wakil presiden sekarang ini, kita bertanya: apa gerangan yang hendak dicapai masing-masing tim sukses untuk tokoh yang mereka jagokan?

Jawabannya, agar tokoh yang dipromosikan dalam setiap kampanye berkenan di hati rakyat. Setelah itu, perkenanan rakyat akan dinyatakan melalui suara yang diberikan kepada tokoh bersangkutan dalam pemilihan umum nanti. Dengan kata lain, yang menjadi kecemasan tim sukses adalah kalau tokohnya tidak berkenan.


Akan tetapi, di situlah soalnya, apakah kita memerlukan pemimpin yang berkenan dan menghindari yang tidak berkenan, ataukah kita memerlukan pemimpin yang sanggup bertindak benar dan menghindari pemimpin yang bertindak tidak benar? Mungkin para pemilih dan pemberi suara perlu berpikir ulang tentang siapa yang hendak mereka dapatkan sebagai pemimpin.

Sebagai perbandingan, coba bayangkan, Anda datang ke sebuah hotel, resepsionis menerima dengan senyum yang ramah dan murah meriah, tetapi ketika Anda memerlukan sesuatu, urusannya amat lambat dan bertele-tele dan Anda tidak mendapat pelayanan yang Anda perlukan. Sebaliknya, ada pula hotel dengan resepsionis yang serba lugas dan tampang sedikit galak, tetapi melayani semua permintaan Anda dengan cepat dan memuaskan.

Anda harus berpikir, ke hotel manakah sebaiknya Anda pergi untuk menginap: ke tempat yang ramah dan kelihatan menyenangkan, tetapi dengan pelayanan tidak efektif atau ke hotel lain dengan suasana yang serba lugas, tetapi di sana keperluan Anda dilayani segera.

Hal yang lebih kurang mirip akan Anda hadapi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan menjadi pemimpin nasional Indonesia selama lima tahun mendatang. Jelas, tiap tim sukses akan mereka-reka dan menciptakan tampilan setiap tokoh mereka semenarik mungkin, entah dengan foto yang memikat, janji yang melambung, atau dengan acara-acara hiburan berupa nyanyian dan tarian, pantun, sajak, atau entertainment lain.

Anda jatuh hati dan mulai berpikir untuk memberikan suara kepada tokoh bersangkutan karena dia berkenan dan menarik hati Anda. Namun, sebelum terlambat, pikirkan sejenak, jangan-jangan tokoh simpatik ini tidak bisa memenuhi kebutuhan dan harapan Anda jika sudah memerintah. Karena itu, daripada terlena mendengar kata-kata yang menarik dan terpukau oleh tampilan yang memesona, cobalah Anda selidiki apakah tokoh bersangkutan mengajukan program politiknya yang bisa dipegang. Anda harus bertanya apakah tokoh bersangkutan sanggup dan mau melakukan suatu program politik yang konkret untuk mewujudkan apa yang Anda impikan sebagai terwujudnya perbaikan nasib Anda sebagai warga negara.

Komitmen pemimpin

Seorang pemimpin nasional, yaitu dia yang memegang tanggung jawab tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, semestinya seseorang yang mengetahui dengan jelas apa yang akan dilakukannya, mempunyai komitmen untuk melaksanakan apa yang diketahuinya, dan berani menanggung risiko dari keputusan dan tindakan politiknya. Kita tidak memilih pemimpin karena hati kita terharu dan perasaan kita terpesona, tetapi karena ada keyakinan yang cukup berdasar bahwa pemimpin yang dipilih akan memperbaiki nasib dan perikehidupan rakyatnya karena dia mempunyai pengetahuan, kesanggupan, dan kemauan untuk melaksanakannya.

Dalam pengantar filsafat, dibedakan beberapa jenis logika. Kalau Anda bertanya kepada seorang anggota DPR tentang apa yang disumbangkannya kepada perbaikan nasib rakyat yang konon diwakilinya, dan Anda mendapat serangan balik terhadap diri Anda, maka anggota DPR kita melakukan suatu argumentum ad hominem (misalnya dengan mengatakan ”saudara mengerti apa tentang urusan DPR, ini soal yang penuh komplikasi yang tidak saudara pahami”). Sebaliknya, kalau dia tidak menjawab pertanyaan Anda secara langsung, tetapi menceritakan kehebatan riwayat dirinya dan menonjolkan pribadinya, maka di sana dia melakukan suatu argumentum ad populum (misalnya dengan mengatakan bahwa dia sudah mengalami tiga masa kerja di DPR dan semua orang juga tahu siapa dirinya).

Seseorang bisa menyerang lawan bicaranya secara pribadi atau dapat pula berusaha menarik hatinya secara pribadi. Akan tetapi, dengan itu kita belum mengetahui apa yang dilakukannya sebagai wakil rakyat untuk para konstituennya. Pada titik itu dia tidak memberikan argumentum ad rem, yaitu jawaban atau keterangan tentang hal yang ditanyakan.

Menyimak tokoh

Dalam masa kampanye sekarang ini, rakyat pemilih sebaiknya menyimak apakah tokoh-tokoh yang mencalonkan dirinya sanggup dan bersedia memberikan jawaban mengenai soal-soal penting yang ditanyakan (yaitu memberikan argumentum ad rem), atau hanya menyerang pesaingnya secara pribadi dan juga menyerang pihak yang meragukan kemampuannya (yaitu melakukan argumentum ad hominem), atau juga hanya berusaha menarik simpati publik kepada dirinya dengan membuat pendengarnya kagum dan terpesona, tanpa menjawab berbagai soal yang ditanyakan mengenai tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin nasional tertinggi (yaitu hanya memberikan argumentum ad populum).

Pada titik ini para pemilih sebaiknya diingatkan bahwa suara yang mereka berikan kepada seorang calon pemimpin nasional bakal menentukan keadaan negara dan bangsa ini untuk masa lima tahun ke depan. Juga bahwa suara yang diberikan akan menentukan juga nasib mereka sendiri sebagai warga negara, apakah hak-hak mereka dipenuhi, perlindungan terhadap mereka dijamin, serta kebutuhan dan harapan mereka bakal dipenuhi.

Choose the right path, not the easy path (pilihlah jalan yang benar, bukan jalan yang gampang), kata Presiden Obama dalam pidatonya di Kairo pada 4 Juni 2009. Kita juga sebaiknya memilih pemimpin yang benar dan bukan sekadar pemimpin yang berkenan di hati.

Ignas Kleden Sosiolog; Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/09/04453785/argumentum.ad.populum

Selengkapnya.....