Oktober 07, 2009

Legislator Minimalis

Oleh Al Andang L Binawan

Anggota DPR dan anggota DPRD di daerah telah dilantik meski sedikit orang yang optimistis.

Alasannya bukan karena biaya pelantikan yang amat besar, tetapi dari keberadaan mereka. Bahkan, Budiman Sudjatmiko, yang mewakili petani dan nelayan Banyumas, secara implisit menuliskan, betapa sulit perjuangannya (Kompas, 2/10/2009).

Minimalisme legislator

Pesimisme terhadap para legislator baru sebenarnya sudah bisa diduga secara common sense. Mereka adalah produk dari sebuah paket undang-undang politik, termasuk UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, yang pada dasarnya adalah sebuah produk negosiasi politik. Salah satu kata kunci dari negosiasi politik adalah kompromi, dan karena itu produk hukumnya akan bersifat minimal. Logikanya menjadi jelas: produk hukum yang minimal pasti juga akan menghasilkan produk legislator yang minimal.


Sifat minimal ini jelas menimbulkan pesimisme. Hal ini diungkapkan oleh Koordinator Divisi Riset Indonesian Parliamentary Center, Ahmad Hanafi (Kompas, 3 Oktober 2009). Baginya, alasan pokoknya adalah bahwa sebagian besar (71 persen) anggota DPR adalah muka baru. Dikhawatirkan bahwa kurangnya pengalaman ini membuat kinerja DPR dalam membuat undang- undang menjadi tersendat.

Jelas ada alasan lain yang lebih hakiki. Menurut data, sebanyak 63,7 persen anggota DPR 2009- 2014 ternyata tinggal (sesuai dengan KTP) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, serta Bekasi, dan bahkan hampir separuh (45,5 persen) dari total jumlah anggota legislatif pusat bertempat tinggal di DKI Jakarta (Kompas, 16 Juni 2009). Data ini menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana mereka bisa menjadikan dirinya sungguh mewakili daerah pilihannya? Tentu, banyak yang bisa mengelak bahwa kartu tanda penduduk (KTP) hanya tempat tinggal dan relasi antara yang mewakili dan yang diwakili bisa dijalin dengan cara lain.

Akan tetapi, data itu tetap saja memberi keraguan besar pada klaim bahwa anggota DPR sungguh adalah wakil rakyat. Di satu sisi pertanyaan akan terkait dengan proses keterpilihannya, apakah sungguh berdasar suatu prinsip demokrasi yang sesungguhnya atau sekadar demokrasi prosedural. Pengalaman dalam pemilu yang lalu menunjukkan bahwa popularitas dan uang menjadi kunci penting dari keterpilihan seorang calon anggota legislatif. Cukup banyak artis atau selebriti dan pengusaha yang bisa meraih banyak suara dan kemudian diangkat menjadi wakil rakyat.

Masih ada data lain, misalnya keprihatinan para pemerhati hak perempuan. Menurut perhitungan, hanya ada 17,5 persen perempuan anggota DPR 2009-2014. Tentu ini masih jauh dari 30 persen yang diharapkan. Tentu ada kekhawatiran bahwa produk hukum ke depan masih memuat bias jender yang besar.

Minimalisme legislasi?

Bahwa hukum bersifat minimal sebenarnya sudah dimaklumi umum. Hukum modern bukanlah hukum yang diturunkan secara deduktif dari suatu gagasan komprehensif. Hukum modern, termasuk hukum sipil di Indonesia, adalah produk dari negosiasi politik dalam kerangka besar ideologi Pancasila sebagai cakrawala dan nilai hak asasi manusia sebagai dasarnya.

Tetap diandaikan di sini bahwa setiap wakil yang bernegosiasi sungguh berfungsi maksimal. Namun, jika melihat data minimalnya—setidaknya secara kuantitatif—profil anggota DPR 2009- 2014, kekhawatiran akan makin minimalnya kualitas hukum di kurun lima tahun ke depan sangat beralasan. Apalagi, pengalaman dengan kinerja anggota DPR periode 2004-2009 menguatkan keraguan ini. Adanya anggota DPR yang suka bolos, yang korupsi, yang terlibat skandal, jelas menguatkan kekhawatiran ini. Pun, pada akhir masa baktinya, mereka masih menyisakan banyak pekerjaan rumah dengan produk hukum yang kualitasnya terasa sangat minimal. Misalnya, UU Perfilman masih memprihatinkan para pekerja film atau RUU Tipikor dikatakan masih punya banyak celah.

Pendeknya, sekali lagi, hukum adalah sebuah produk negosiasi politik. Karena itu, hukum hanya bisa menjamin keadilan minimal. Jika yang bernegosiasi juga punya kualitas minimal, sangat dikhawatirkan bahwa produk hukum nanti akan bersifat semakin minimal.

Maksimalisasi

Kekhawatiran atau pesimisme itu wajar, sangat bisa dipahami. Meski begitu, rakyat tidak banyak bisa menuntut. Yang sekarang diharapkan adalah agar pesimisme ini dijadikan tantangan bagi para legislator, bukan hanya secara pribadi, melainkan juga secara kelembagaan.

Setiap pribadi legislator mungkin memang bisa menyanggah data umum di atas dengan mengatakan bahwa hal itu tidak berlaku pada dirinya. Tidak dilarang, tentu, tetapi yang lebih diharapkan adalah bukti ke depan dengan memaksimalkan seluruh kualitas pribadinya agar memang bisa menjadi suara rakyat.

Secara kelembagaan, diharapkan dibuat mekanisme atau aturan main yang bisa menutup kekurangan umum ini. Aturan sebagai struktur eksternal akan bisa membantu para legislator ini memaksimalkan hal-hal minimalnya. Harapan yang lebih jauh, hendaknya—dengan itu—para legislator ini bisa membuat hukum yang lebih berkualitas. Produk hukum ini tentunya termasuk juga undang-undang politik yang berkualitas, yang kelak juga bisa melahirkan legislator-legislator baru yang juga lebih berkualitas. Mimpinya, dengan itu negeri ini tidak terjebak dalam lingkaran setan masalah politik dan hukum. Selamat bekerja. Selamat memaksimalkan yang minimal.

Al Andang L Binawan Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/08/02445726/legislator.minimalis

Selengkapnya.....

Juli 09, 2009

Kupas Kilas Pilpres 2009

Oleh Budi H. Wibowo

8 Juli 2009 adalah momentum sejarah yang akan tercatat dalam lembar sejarah perkembangan demokratisasi di Indonesia. Generasi-generasi berikutnya akan selalu mengingat bahwa tanggal tersebut menjadi tonggak tersendiri bagi kemajuan dan sekaligus pengalaman berharga yang dapat menjadi pelajaran berarti di masa datang. Berbagai kontroversi yang menyeliputi pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) presiden 2009 –mulai dari awal hingga pelaksanaannya— menjadi bahan penting untuk kelanjutan masa depan kehidupan demokrasi.


Pemilu presiden (pilres) 2009 adalah pemilu kedua yang dilaksanakan secara langsung di mana rakyat Indonesia secara langsung memilih calon presiden dan calon wakil presiden pilihan mereka. Rakyat sekali lagi telah diberikan tempat “istimewa” dalam alam demokrasi Indonesia karena selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.

Peran penting rakyat dalam pilpres 2009 sempat “terganggu” dengan adanya kisruh mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT). Namun, hal ini minimal dapat teratasi dengan adanya Putusan MK perihal memperbolehkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang disertakan Kartu Keluarga (KK) dan Paspor bagi warga yang tidak tercantum dalam DPT. Walhasil, warga negara pada 8 Juli 2009 –yang semula tidak dapat memilih karena tidak ada dalam DPT—dapat memilih dan menggunakan haknya sehingga warga negara/rakyat dapat berpartisipasi.

Laporan Penggunaan Dana Kampanye
Nampak jelas dalam penglihatan dan pendengaran kita, bahwa para capres-cawapres pada pilpres 2009 dengan sungguh-sungguh ingin memikat hati rakyat agar memilih mereka. Berbagai macam jenis iklan yang disungguhkan melalui media televisi, radio, internet, media cetak, dan sebagainya memberikan kesan bahwa kesungguhan tersebut memang patut diapresiasikan meskipun tidak sedikit biaya yang dikeluarkan karena iklan-iklan tersebut.

Berdasarkan data KPU (lihat www.kpu.go.id) sampai tanggal 5 Juli 2009 tercatat dana kampanye ketiga pasangan capres-cawapres masing-masing adalah 1. Mega-Prabowo sebesar Rp. 257.600.050.000,-; 2. SBY-Boediono sebesar Rp. 200.470.446.232,-; dan 3. JK-Wiranto sebesar Rp. 83.327.864.390,-. Dari jumlah dana kampanye tersebut jelas tersirat bahwa betapa besarnya modal bagi seorang capres-cawapres yang berkompetisi memperebutkan kursi kepresidenan.

Modal yang besar itu patut untuk diperiksa sehingga kecurigaan-kecurigaan seperti pada pemilu 2004 tidak terjadi. Misalnya pada pemilu 2004 sempat terdapat kecurigaan penggunaan dana kampanye yang diawali dengan adanya pengakuan Amien Rais yang menerima dana dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Kecurigaan Amien tersebut sempat memicu ketegangan pasca pemilu 2004 (lihat Kompas, 4 Juni 2007).

Terkait dengan itu, maka pengalaman pada pilpres 2004 patut menjadi pelajaran tersendiri bagi publik untuk tidak saja hanyut dalam euforia kemenangan salah satu capres-cawapres tetapi lebih dari itu harus memperhatikan secara jelas laporan penggunaan dana kampanye sebagai wujud amanat undang-undang yang menyebutkan bahwa pasangan capres-cawapres dan tim kampanye melaporkan penggunaan dana kampanye kepada KPU paling lama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa kampanye (lihat Pasal 100 UU No. 42 Tahun 2008).

Antisipasi Perselisihan Hasil Pilpres
Bagi capres-cawapres dan para tim suksesnya yang berdasarkan perhitungan cepat (quick count) merasa telah “menang” tentunya telah bersyukur dan berucap “selamat”. Tetapi hal ini tentunya masih menunggu penetapan hasil pemilu yang diumumkan oleh KPU (30 hari sejak pemungutan suara dilakukan). Suasana gembira dan suka ria capres-cawapres yang oleh sementara perhitungan dianggap menang. Berdasarkan quick count capres-cawapres SBY-Boediono berada pada urutan nomor satu alias “pemenang” karena memperoleh hampir 60 persen lebih suara pemilih dibandingkan dengan kompetitor lainnya.

Sembari menunggu pengumuman resmi KPU mengenai hasil perhitungan suara pada pilpres 2009 maka sudah sepatutnya bagi para kontestan pilpres menyiapkan dan mempersiapkan bahan dan data jika dianggap terjadi perbedaan suara ataupun hal-hal terkait dengan suara yang diperoleh mereka. Mengapa demikian? Karena hal inilah yang mungkin kurang diperhatikan oleh para kontestan dan juga merujuk pada pengalaman pelaksanaan pemilu legislatif beberapa waktu lalu di mana bahan dan data yang dapat dijadikan bukti untuk diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi kurang memadai.

Kesiapan dan persiapan dari masing-masing kontestan baik yang sementara dianggap menang maupun yang sementara dianggap kalah adalah penting dilakukan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa berdasarkan Pasal 159 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 capres-cawapres yang terpilih menjadi presiden adalah yang memenuhi lebih dari 50 persen jumlah suara dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Paling tidak untuk kesiapan dan persiapan mengantisipasi perselisihan hasil pilpres yang mungkin diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi para capres-cawapres perlu mengetahui pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilu presiden dan wapres, terutama yang terkait dengan alat bukti. Alat bukti dimaksud adalah surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, dan petunjuk (lihat Pasal 9 PMK No. 17 Tahun 2009).

Antisipasi perselisihan hasil pilpres ini juga seharusnya dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggaran pilpres karena ketika nantinya hasil pilpres ternyata diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi maka KPU jelas akan menjadi pihak terkait guna menguji bukti-bukti dari para pemohon (capres-cawapres).

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika ternyata putusan MK atas perkara PHPU Pilpres mengubah komposisi hasil piplres 2009? Misalkan pasangan capres-cawapres SBY-Boediono yang telah mendapatkan hasil lebih dari 50 persen suara pemilih dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia berubah karena adanya Putusan MK yang mengabulkan permohonan capres-cawapres Mega-Prabowo sehingga menyebabkan suara SBY-Boediono menjadi tetap lebih dari 50 persen suara dengan 15 persen suara di setiap provinsi. Artinya, meskipun terpenuhi lebih dari 50 persen suara tetapi ternyata akibat Putusan MK suara SBY-Boediono tidak mencapai 20 persen suara di setiap provinsi. Apa yang akan terjadi? Tentunya dapat mengakibatkan pilpres putaran kedua digelar.

Oleh karena itu, bagi para capres-cawapres antisipasi berbagai hal termasuk perselisihan hasil pilpres harus disiapkan sehingga masalah yang mungkin terjadi dapat diatasi dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan agar penetapan presiden dan wapres terpilih tidak berlarut-larut karena agenda implementasi program kerja dari presiden-wapres terpilih sudah ditunggu rakyat.

sumber: http://bhariwibowo.blogspot.com/2009/07/kupas-kilas-pilpres-2009.html

Selengkapnya.....

Juni 29, 2009

Capres-Cawapres: Pelayanan Publik, Janji yang Terlewatkan

Oleh Budi H. Wibowo

Dari tiga pasangan capres-cawapres yang akan merebutkan tampuk kepemimpinan nasional di negeri ini masih belum ada satupun yang secara tegas “menjanjinkan” perbaikan terhadap pelayanan publik. Apakah hal ini terlupakan oleh ketiga pasangan tersebut ataukah memang sengaja tidak menjadi bahan kampanye mereka mengingat sulitnya mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik di Indonesia? Pertanyaan semacam ini pantas digelontorkan karena ternyata dari program-program yang dijanjikan lewat kampanye ketiga capres-cawapres belum nampak secara spesifik yang menyebutkan perbaikan pelayanan publik.


Meskipun pada 23/6 lalu anggota DPR telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik untuk menjadi undang-undang namun hal ini belum menjadi jaminan terlaksananya kebijakan tersebut. Karena meskipun terdapat aturan yang mengakomodir pelayanan publik namun bila capres-cawapres yang notabene nantinya menjadi pelaksana undang-undang tidak atau belum secara tegas menjadikan program peningkatan pelayanan publik ke dalam programnya maka tidak ada guarantee yang cukup atas keberhasilan pelaksanaan dari aturan tersebut.

Mengenai program capres-cawapres terutama untuk pelayanan publik masih hanya sebatas digulirkan oleh para tim sukses dari masing-masing capres-cawapres saja. Misalkan tim pasangan Mega-Prabowo melalui Maruarar Sirait menjanjikan adanya perubahan dan kemudahan dalam pelayanan publik dengan mencontohkan untuk menyelesaikan persoalan Lapindo karena itu merupakan bagian dari tugas melayani rakyat. Sementara dari tim pasangan SBY-Boediono lewat tim suksesnya Zulkiflimansyah berpandangan bahwa reformasi birokrasi harus dilakukan sebagai upaya meningkatkan pelayanan publik. Sedangkan dari tim pasangan JK-Wiranto melalui juru bicaranya Indra J. Pilliang menjanjikan pelayanan publik yang permanen dan efisien.

Dari ketiga tim sukses masing-masing pasangan capres-cawapres tersebut dapat kita lihat bahwa belum ada blue print yang jelas dan tegas mengenai perbaikan pelayanan publik. Semua yang diutarakan dari ketiga tim sukses di atas masih merupakan bumbu dari menu kampanye para capres-cawapres. Kenapa tidak bila memang beritikad baik maka seharusnya tim sukses tersebut menyiapkan secara matang grand design pelayanan publik Indonesia 2009-2014, jangan hanya program-program yang parsial dan nyata-nyata hanya sebagai “jualan obot” belaka dalam masa kebutuhan suara seperti sekarang ini. Jika nanti benar-benar terpilih tidak menjamin pelaksanaan perbaikan pelayanan publik tersebut.

Agar grand design ataupun blue print pelayanan publik masing-masing capres-cawapres benar-benar serius maka perlu dan penting kiranya dilakukan semacam “kontrak politik” tersendiri terutama mengenai pelayanan publik beserta breakdown dari program pelayanan publik tersebut sehingga ini dapat menjadi “jaminan” bila nanti terpilih mereka akan dapat “dituntut” oleh rakyat yang notabene menjadi pemilihnya.

Bagi-bagi Kue Kekuasaan
Lagi-lagi dan sudah menjadi rahasia umum jika masa-masa kampanye seperti ini semua orang yang menjadi capres-cawapres dan sekitarnya selalu menggaungkan janji-janji kepada masyarakat untuk mendapat simpati dan kepercayaan. Namun, sudah seharusnya disadari oleh para capres-cawapres bahwa janji tidaklah sekedar menjadi janji belaka tetapi harus dilaksanakan. Begitu juga dengan pelayanan publik di Indonesia. Sudah semestinya konsentrasi mereka difokuskan pada perbaikan pelayanan publik yang memang terkenal sudah payah.

Apabila hal ini tidak secara serius menjadi wilayah garapan para pasangan capres-cawapres maka sudah dapat dipastikan bahwa yang bakal terjadi nantinya ketika kekuasaan sudah diperoleh adalah bagi-bagi kue kekuasaan. Dan untuk program-program yang pernah mereka umbar dalam masa-masa kampanye sirna begitu saja. Mengapa hal ini penting? Sederhana saja kita coba mengasumsikan dengan kondisi jika salah satu pasangan capres-cawapres tersebut terpilih nantinya maka mereka pastilah pada 100 hari pertama memerintah akan sangat disibukkan dengan pembentukan dan formasi kabinet, selanjutnya mereka akan disibukkan juga dengan menyusun agenda kerja pemerintahan ke depan plus pergeseran di seluruh lini departemen untuk diisi oleh “orang-orang kepercayaan dan yang berjasa kepada mereka”, belum lagi agenda kunjungan mereka ke luar negeri untuk menyapa para tetangga sekaligus untuk “stor” muka dan masih banyak lagi kesibukan lainnya.

Jika sudah seperti itu maka kapan waktu mereka untuk menunaikan janji-janji yang pernah mereka dengungkan kepada masyarakat. Bisa jadi tidak ada waktu sama sekali karena alasan kesibukan yang luar biasa tersebut. Oleh karena itu, penting meskipun minimal dengan adanya kontrak politik yang ditandatangani oleh para capres-cawapres di saat masa kampanye dilakukan untuk menjadikan jaminan.

sumber: http://bhariwibowo.blogspot.com/2009/06/capres-cawapres-pelayanan-publik-janji.html

Selengkapnya.....

Juni 08, 2009

"Argumentum ad Populum"

Oleh: Ignas Kleden

Menghadapi kampanye calon presiden dan calon wakil presiden sekarang ini, kita bertanya: apa gerangan yang hendak dicapai masing-masing tim sukses untuk tokoh yang mereka jagokan?

Jawabannya, agar tokoh yang dipromosikan dalam setiap kampanye berkenan di hati rakyat. Setelah itu, perkenanan rakyat akan dinyatakan melalui suara yang diberikan kepada tokoh bersangkutan dalam pemilihan umum nanti. Dengan kata lain, yang menjadi kecemasan tim sukses adalah kalau tokohnya tidak berkenan.


Akan tetapi, di situlah soalnya, apakah kita memerlukan pemimpin yang berkenan dan menghindari yang tidak berkenan, ataukah kita memerlukan pemimpin yang sanggup bertindak benar dan menghindari pemimpin yang bertindak tidak benar? Mungkin para pemilih dan pemberi suara perlu berpikir ulang tentang siapa yang hendak mereka dapatkan sebagai pemimpin.

Sebagai perbandingan, coba bayangkan, Anda datang ke sebuah hotel, resepsionis menerima dengan senyum yang ramah dan murah meriah, tetapi ketika Anda memerlukan sesuatu, urusannya amat lambat dan bertele-tele dan Anda tidak mendapat pelayanan yang Anda perlukan. Sebaliknya, ada pula hotel dengan resepsionis yang serba lugas dan tampang sedikit galak, tetapi melayani semua permintaan Anda dengan cepat dan memuaskan.

Anda harus berpikir, ke hotel manakah sebaiknya Anda pergi untuk menginap: ke tempat yang ramah dan kelihatan menyenangkan, tetapi dengan pelayanan tidak efektif atau ke hotel lain dengan suasana yang serba lugas, tetapi di sana keperluan Anda dilayani segera.

Hal yang lebih kurang mirip akan Anda hadapi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan menjadi pemimpin nasional Indonesia selama lima tahun mendatang. Jelas, tiap tim sukses akan mereka-reka dan menciptakan tampilan setiap tokoh mereka semenarik mungkin, entah dengan foto yang memikat, janji yang melambung, atau dengan acara-acara hiburan berupa nyanyian dan tarian, pantun, sajak, atau entertainment lain.

Anda jatuh hati dan mulai berpikir untuk memberikan suara kepada tokoh bersangkutan karena dia berkenan dan menarik hati Anda. Namun, sebelum terlambat, pikirkan sejenak, jangan-jangan tokoh simpatik ini tidak bisa memenuhi kebutuhan dan harapan Anda jika sudah memerintah. Karena itu, daripada terlena mendengar kata-kata yang menarik dan terpukau oleh tampilan yang memesona, cobalah Anda selidiki apakah tokoh bersangkutan mengajukan program politiknya yang bisa dipegang. Anda harus bertanya apakah tokoh bersangkutan sanggup dan mau melakukan suatu program politik yang konkret untuk mewujudkan apa yang Anda impikan sebagai terwujudnya perbaikan nasib Anda sebagai warga negara.

Komitmen pemimpin

Seorang pemimpin nasional, yaitu dia yang memegang tanggung jawab tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, semestinya seseorang yang mengetahui dengan jelas apa yang akan dilakukannya, mempunyai komitmen untuk melaksanakan apa yang diketahuinya, dan berani menanggung risiko dari keputusan dan tindakan politiknya. Kita tidak memilih pemimpin karena hati kita terharu dan perasaan kita terpesona, tetapi karena ada keyakinan yang cukup berdasar bahwa pemimpin yang dipilih akan memperbaiki nasib dan perikehidupan rakyatnya karena dia mempunyai pengetahuan, kesanggupan, dan kemauan untuk melaksanakannya.

Dalam pengantar filsafat, dibedakan beberapa jenis logika. Kalau Anda bertanya kepada seorang anggota DPR tentang apa yang disumbangkannya kepada perbaikan nasib rakyat yang konon diwakilinya, dan Anda mendapat serangan balik terhadap diri Anda, maka anggota DPR kita melakukan suatu argumentum ad hominem (misalnya dengan mengatakan ”saudara mengerti apa tentang urusan DPR, ini soal yang penuh komplikasi yang tidak saudara pahami”). Sebaliknya, kalau dia tidak menjawab pertanyaan Anda secara langsung, tetapi menceritakan kehebatan riwayat dirinya dan menonjolkan pribadinya, maka di sana dia melakukan suatu argumentum ad populum (misalnya dengan mengatakan bahwa dia sudah mengalami tiga masa kerja di DPR dan semua orang juga tahu siapa dirinya).

Seseorang bisa menyerang lawan bicaranya secara pribadi atau dapat pula berusaha menarik hatinya secara pribadi. Akan tetapi, dengan itu kita belum mengetahui apa yang dilakukannya sebagai wakil rakyat untuk para konstituennya. Pada titik itu dia tidak memberikan argumentum ad rem, yaitu jawaban atau keterangan tentang hal yang ditanyakan.

Menyimak tokoh

Dalam masa kampanye sekarang ini, rakyat pemilih sebaiknya menyimak apakah tokoh-tokoh yang mencalonkan dirinya sanggup dan bersedia memberikan jawaban mengenai soal-soal penting yang ditanyakan (yaitu memberikan argumentum ad rem), atau hanya menyerang pesaingnya secara pribadi dan juga menyerang pihak yang meragukan kemampuannya (yaitu melakukan argumentum ad hominem), atau juga hanya berusaha menarik simpati publik kepada dirinya dengan membuat pendengarnya kagum dan terpesona, tanpa menjawab berbagai soal yang ditanyakan mengenai tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin nasional tertinggi (yaitu hanya memberikan argumentum ad populum).

Pada titik ini para pemilih sebaiknya diingatkan bahwa suara yang mereka berikan kepada seorang calon pemimpin nasional bakal menentukan keadaan negara dan bangsa ini untuk masa lima tahun ke depan. Juga bahwa suara yang diberikan akan menentukan juga nasib mereka sendiri sebagai warga negara, apakah hak-hak mereka dipenuhi, perlindungan terhadap mereka dijamin, serta kebutuhan dan harapan mereka bakal dipenuhi.

Choose the right path, not the easy path (pilihlah jalan yang benar, bukan jalan yang gampang), kata Presiden Obama dalam pidatonya di Kairo pada 4 Juni 2009. Kita juga sebaiknya memilih pemimpin yang benar dan bukan sekadar pemimpin yang berkenan di hati.

Ignas Kleden Sosiolog; Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/09/04453785/argumentum.ad.populum

Selengkapnya.....

Juni 05, 2009

Koordinasi dan Manajemen



Oleh Budi H. Wibowo

A. Pengertian Koordinasi
Menurut G.R. Terry koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L. Brech, koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri (Hasibuan, 2007:85).


Menurut Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:89) koordinasi adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama.

Sementara itu, Handoko (2003:195) mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.

Menurut Handoko (2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan (leadership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.

Terdapat 3 (tiga) macam saling ketergantungan di antara satuan-satuan organisasi seperti diungkapkan oleh James D. Thompson (Handoko, 2003:196), yaitu:
1. Saling ketergantungan yang menyatu (pooled interdependence), bila satuan-satuan organisasi tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan harian tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk suatu hasil akhir.
2. Saling ketergantungan yang berurutan (sequential interdependece), di mana suatu satuan organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja.
3. Saling ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence), merupakan hubungan memberi dan menerima antar satuan organisasi.
Ketiga hubungan saling ketergantungan ini dapat digambarkan seperti terlihat pada diagram berikut ini.

Lebih lanjut Handoko (2003:196) juga menyebutkan bahwa derajat koordinasi yang tinggi sangat bermanfaat untuk pekerjaan yang tidak rutin dan tidak dapat diperkirakan, faktor-faktor lingkungan selalu berubah-ubah serta saling ketergantungan adalah tinggi. Koordinasi juga sangat dibutuhkan bagi organisasi-organisasi yang menetapkan tujuan yang tinggi.

B. Masalah-Masalah dalam Koordinasi
Peningkatan spesialisasi akan menaikkan kebutuhan akan koordinasi. Tetapi semakin besar derajat spesialisasi, semakin sulit bagi manajer untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan khusus dari satuan-satuan yang berbeda. Paul R. Lawrence dan Jay W. Lorch (Handoko, 2003:197) mengungkapkan 4 (empat) tipe perbedaan dalam sikap dan cara kerja yang mempersulit tugas pengkoordinasian, yaitu:
1. Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu.
Para anggota dari departemen yang berbeda mengembangkan pandangan mereka sendiri tentang bagaimana cara mencapai kepentingan organisasi yang baik. Misalnya bagian penjualan menganggap bahwa diversifikasi produk harus lebih diutamakan daripada kualtias produk. Bagian akuntansi melihat pengendalian biaya sebagai faktor paling penting sukses organisasi.
2. Perbedaan dalam orientasi waktu.
Manajer produksi akan lebih memperhatikan masalah-masalah yang harus dipecahkan segera atau dalam periode waktu pendek. Biasanya bagian penelitian dan pengembangan lebih terlibat dengan masalah-masalah jangka panjang.
3. Perbedaan dalam orientasi antar-pribadi.
Kegiatan produksi memerlukan komunikasi dan pembuatan keputusan yang cepat agar prosesnya lancar, sedang bagian penelitian dan pengembangan mungkin dapat lebih santai dan setiap orang dapat mengemukakan pendapat serta berdiskusi satu dengan yang lain.
4. Perbedaan dalam formalitas struktur.
Setiap tipe satuan dalam organisasi mungkin mempunyai metode-metode dan standar yang berbeda untuk mengevaluasi program terhadap tujuan dan untuk balas jasa bagi karyawan.

C. Tipe-Tipe Koordinasi
Menurut Hasibuan (2007:86-87) terdapat 2 (dua) tipe koordinasi, yaitu:
1. Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unti, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya.
2. Koordinasi horisontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.

D. Sifat-Sifat Koordinasi
Menurut Hasibuan (2007:87) terdapat 3 (tiga) sifat koordinasi, yaitu:
1. Koordinasi adalah dinamis bukan statis.
2. Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang koordinator (manajer) dalam rangka mencapai sasaran.
3. Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan.
Asas koordinasi adalah asas skala (hirarki) artinya koordinasi itu dilakukan menurut jenjang-jenjang kekuasaan dan tanggungjawab yang disesuaikan dengan jenjang-jenjang yang berbeda-beda satu sama lain. Tegasnya, asas hirarki ini bahwa setiap atasan (koordinator) harus mengkoordinasikan bawahan langsungnya.

E. Syarat-Syarat Koordinasi
Menurut Hasibuan (2007:88) terdapat 4 (empat) syarat koordinasi, yaitu:
1. Sense of cooperation (perasaan untuk bekerjasama), ini harus dilihat dari sudut bagian per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang.
2. Rivalry, dalam perusahaan-perusahaan besar sering diadakan persaingan antara bagian-bagian, agar bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan.
3. Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai.
4. Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai, umumnya akan menambah kegiatan yang bersemangat.
Koordinasi adalah suatu istilah yang mengandung pengertian koperasi (cooperation), sebab tanpa adanya koperasi tidak mungkin dapat dilakukan. Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:90) mendefinisikan koperasi merupakan kehendak dari individu-individu untuk menolong satu sama lain.
Namun antara koordinasi dan koperasi berbeda. Menurut Handayaningrat (1985:90) pada koperasi terdapat unsur kesukarelaan atau sifat suka rela (voluntary attitude) dari orang-orang di dalam organisasi. Sedangkan koordinasi tidak terdapat unsur kerjasama secara suka rela, tetapi bersifat kewajiban (compulsory).

F. Ciri-Ciri Koordinasi
Menurut Handayaningrat (1985:89-90) koordinasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Bahwa tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada pimpinan. Oleh karena itu, koordinasi adalah merupakan tugas pimpinan. Koordinasi sering dicampur-adukkan dengan kata koperasi yang sebenarnya mempunyai arti yang berbeda. Sekalipun demikian pimpinan tidak mungkin mengadakan koordinasi apabila mereka tidak melakukan kerjasama. Oleh kaerna itu, maka kerjasama merupakan suatu syarat yang sangat penting dalam membantu pelaksanaan koordinasi.
2. Adanya proses (continues process). Karena koordinasi adalah pekerjaan pimpinan yang bersifat berkesinambungan dan harus dikembangkan sehingga tujuan dapat tercapai dengan baik.
3. Pengaturan secara teratur usaha kelompok. Oleh karena koordinasi adalah konsep yang ditetapkan di dalam kelompok, bukan terhadap usaha individu, maka sejumlah individu yang bekerjasama, di mana dengan koordinasi menghasilkan suatu usaha kelompok yang sangat penting untuk mencapai efisiensi dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Adanya tumpang tindih, kekaburan dalam tugas-tugas pekerjaan merupakan pertanda kurang sempurnanya koordinasi.
4. Konsep kesatuan tindakan. Hal ini adalah merupakan inti dari koordinasi. Kesatuan usaha, berarti bahwa harus mengatur sedemikian rupa usaha-usaha tiap kegiatan individu sehingga terdapat adanya keserasian di dalam mencapai hasil.
5. Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama, kesatuan dari usaha meminta suatu pengertian kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan sebagai kelompok di mana mereka bekerja.


Daftar Bacaan
Handayaningrat, Soewarno (1985). Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Managemen. Cetakan Keenam. Jakarta: PT Gunung Agung.
Handoko, T. Hani (2003), Manajemen. Edisi Kedua. Cetakan Kedelapanbelas. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Hasibuan, Malayu S.P. (2007), Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah. Edisi Revisi. Cetakan Keenam. Jakarta: Bumi Aksara.

Selengkapnya.....

Juni 04, 2009

Politik Kebangsaan, Keikhlasan Menjadi Indonesia

Oleh Amsar A. Dulmanan

Negara adalah institusi politik modern yang dirancang agar mampu melaksanakan misi dari kepentingan suatu bangsa. Begitu pun Indonesia sebagai Negara kesatuan berbentuk Republik adalah salah satu Negara nasional, dan sejak awal oleh The Founding Fathers dihadirkan untuk mengemban tugas-tugas serta melayani bangsa Indonesia, termasuk eksistensi membangun dirinya menjadi bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.


Proses kehadiran dan keberadaannya bila ditelusuri bisa dikatakan melalui atau menggunakan cara-cara “demokrasi”. Mereka berdiskusi, berdebat dan berargumentasi sebelum bermufakat dalam suatu konsensus. Tradisi bermusyawarah untuk mufakat inilah yang menjadi amanat sebagai suatu kebijakan penting, tertuang menjadi sila keempat yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Konsep musyawarah mufakat ini yang sesungguhnya ciri “kekuasaan” Indonesia dengan tidak mengedepankan “Voting” sebagai pilihan terbaik kecuali digunakan bila sangat diperlukan saja.

Namun, karena perkembangan, letak geografis serta keinginan berkuasa manusia Indonesia saat ini, maka amanat para pendahulu tersebut diingkari, bahkan dinegasikan. Konsep-konsep filosofis dasar bernegara (baca-Pancasila) diabaikan dan dianggap sesuatu yang ortodok dan tidak modern sehingga ketinggalan jaman dalam perkembangan politik ke Indonesiaan hari ini. Sementara bila dicermati keinginan melakukan perubahan atas sesuatu yang pundamental itu tidak dilakukan sebagai studi yang serius dengan melihat variabel yang menyertainya.

Kelalaian itulah yang selanjutnya dalam proses reformasi menempatkan bangsa Indonesia pada situasi gamang, satu sisi ingin meninggalkan ”amanat” pendahulu dengan argumen kurang demokratis, tetapi pada sisi lain ternyata perubahan yang dilakukan tidak dilandasi dengan ”granddesign, kecuali sebagai kepentingan dari muatan liberalisme, yakni kebebasan pasar. Pada posisi ini, kekuasaan atau kedaulatan rakyat sebatas alat yang diperhadapkan dengan otoriterianisme rejim berkuasa.

Terlebih gagasan serta langkah-langkah perubahan yang terjadi malah menjauhi nilai dan potensi sosial politik sebagai kepribadian “kekuasaan” Indonesia. Sebagai Kekuasaan—Indonesia-- yang guyub, sahaja, akrab dan penuh kekerabatan dalam satu kesatuan yang tidak terpisah, begitu juga tradisi kegotong-royongannya, adalah sesuatu yang tidak ditemukan dalam tradisi-tradisi kekuasaan “demokratisasi” Eropa.

Dunia Barat secara historis membangun tradisi kekuasaannya dari pertentangan, sengketa dan koflik-konflik yang meluluhlantakan rumpun sosial yang kalah. Sementara Indonesia, sebagai memilik budaya “kekuasaan” Timur berproses sebagai bagian atau kelompok-kelompok yang saling menghargai tanpa harus memusnahkan, pertentangan selalu dilakoni dengan dialog dalam mejelis para adat dan kesepuhan, sebagai tradisi musyawarah mufakat. Kenyataan inilah yang diletakan oleh Almond (1956) dalam tindakan “budaya politik”, yang merupakan pola-pola dari tindakan politik yang lekat sebagai system politik suatu Negara. Bagi Almond budaya politik memiliki otonomi tertentu --tetap berhubungan dengan budaya umum-- ia tidak serta merta hadir bersama-sama dengan sistem politik mengingat pola-pola orientasi politik melampaui batas-batas sistem politik, sebagai karakteristik nasionalisme dan etos budaya yang dominan mempengaruhinya.

Dalam The Civic Culture (1963) Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik dalam pengertian orientasi politik dan sikap-sikap yang dipegang individu-individu dalam berhubungan dengan sistem politiknya, yang terinternalisasikan lewat perenungan, perasaan dan evaluasi penduduknya. Orang terbujuk untuk melakukannya ketika mereka tersosialisasikan ke dalam peran-peran non politik dan sistem sosial. Hal ini merupakan orientasi-orientasi kognitif untuk menyertakan pengetahuan dan keyakinan-keyakinan menyangkut sistem politik, para pemimpinnya dan operasinya.

Lalu secara afektif melibatkan perasaan terhadap sistem seperti rasa keterlibatan atau pengucilan. Sedangkan orientasi-orientasi evaluatif terdiri dari penilaian dan opini tentang sistem dan mungkin menyertakan, misal pada Indonesia penerapan nilai-nilai seperti norma-norma permusyawaratan perwakilan dan demokrasi langsung bagi Barat.

Sementara Orientasi-orientasi tersebut merupakan basis tipe-tipe budaya politik dan menjadi postulat dengan tiga tipe budaya politik yang menyertainyayaitu parochial (picik, sempit), yang menyiratkan bahwa individu-individu memiliki pengharapan dan kepedulian yang rendah terhadap pemerintah dan umumnya tidak merasa terlibat. Budaya politik “subyek”, yaitu individu-individu peduli dengan keluaran-keluaran yang dicapai pemerintah namun tidak berpartisipasi dalam proses-proses yang menghasilkan keputusan-keputusan kebijakan. Sedang pada budaya politik “partisipan” adalah individu-individu bersikap aktif dan terlibat dengan sistem secara utuh, yaitu dalam proses-proses input maupun outputnya.

Kembali pada pembentukan Negara “nasional” Indonesia, memang merupakan proses dalam tahapan kesadaran berbangsa, berbahasa dan bertanah-air untuk menjadi Indonesia dengan kompleksitas didalamnya, sehingga menghendaki kerelaan menegasikan otoritas yang dominan untuk meletakan potensi-potensi obyektif demi menguatnya kebangsaan Indonesia. Contoh yang signifikan adalah ketika bahasa melayu –sebagai kelompok minoritas-- disepakati menjadi bahasa Indonesia pada 28 Oktober 1928, sehingga Indonesia menjadi sedikit Negara yang memiliki bahasa persatuan.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa pembangunan bangsa Indonesia, menjadi merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur tidaklah selesai bersamaan integrasi nasional. Justru pada integrasi nasional itulah baru mulai membangun sebuah kesadaran Ipoleksosbud Hankam (Ideologi, politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan dan keamanan, termasuk bidang hokum). Pada konteks pembangunan “manusia” Indonesia dalam perspektif kebangsaan atau nasionalisme yang Indonesia tentu saja dibutuhkan kecakapan menelaah disain dasar “Indonesia” sebagai Negara Kesatuan berbentuk Republik, yang mahfum sebagai NKRI.

Setidaknya pada wacana dan gagasan para Begawan yang terlibat dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau BPUPKI, sehingga terpahami proses keikhlasan untuk menjadi Indonesia yang konsep pemikirannya tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945 berikut penjelasannya –sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Begitu pula dalam pelacakan Dekrit Presiden 1959, yang kembali pada UUD 1945 dengan catatan tetap dijiwai oleh Piagam Jakarta. Keseluruhan sejarah yang terjadi merupakan proses menjadikan Indonesia yang tidak sekuler, tetapi merupakan Negara yang tetap dan konsisten menegakan “tauhid” keagamaannya, juga ketika menegasikan bentuk monarkis adalah pilihan pada watak kebangsaan dan keragamannya.

Bahkan telaah lebih detil bahwa memilih menjadi “khas” Indonesia, yang bukan Barat (bukan sosialis atau liberalis), idea dan gagasannya telah termaktub dalam Pembukaan UUD ’45. Yaitu pertama sebagai Negara nasional, agar dapat “berkehidupan kebangsaan yang bebas”, yang berdimensi “politis” atas Kemerdekaan, persatuan dan kedaulatan Indonesia, mewujudkan keadilan dan kemakmuran sebagai tanggung jawab Indonesia --siapapun rejim berkuasa—pada dimensi sosial budaya dan ekonomi.

Kedua, bahwa Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat, secara koseptual dan konstitusional “Rakyat” Indonesia terjelmakan sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Lembaga Negara Tertinggi. Lalu mengangkat Presiden, yang bertanggungjawab penuh kepada MPR. Paham “kedaulatan rakyat” adalah pengakuan implisit terhadap hak asasi manusia dan hak-hak serta kewajiban warganegara
Ketiga, Indonesia diletakan bukan sebagai Negara Kekuasaan (Machstaat), melainkan sebagai Negara berdasar atas Hukum (Rechsstaat). Disini Negara mengidentifikasikan diri sebagai penegak norma moral dalam sanksi hukum. Dengan demikian, “kekuasaan” Negara hanyalah sarana untuk menegakkan seperangkat nilai moral sebagai norma dasar Negara (staatsfundamentalnorm).

Keempat, Norma dasar itu yang terwujud sebagai Pancasila, yang terejawantahkan menjadi dasar Negara Republik Indonesia; dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indoensia. Selanjutnya Pancasila menjadi norma hukum yang mempunyai nilai konstitusional (UUD 1945), yang secara hirarkis adalah dasar konstitusi keseluruhan “proses” pembentukan hukum. Sehingga menjadi dasar kewenangan lembaga penyelenggara Negara, tentang hak dan kewajiban asasi warganegara dalam segala kekuasaan teritorial.

Kelima, berbeda dengan teori kenegaraan Eropa, yang mempertentangkan Negara dengan rakyat atau pemerintah dengan rakyat, para Pendiri NKRI memaknai Indonesia sebagai satu kesatuan dan tidak terpisah (integrate) antara Rakyat, Pemerintah dan Wilayah. Tatanan ini sebagai manifestasi “Cita Negara Persatuan Indonesia”, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Mencermati prinsip ketegaran Indonesia menjadi suatu Negara kesatuan, maka bukan suatu keanehan jika Nahdlatul Ulama di tahun 1936 sudah mengikrarkan diri dan konsisten bahwa “Indonesia” merupakan bentuk final dari pilihan berbangsa dan bernegara. Lalu ketika awal kemerdekaan, NU harus mempertahankannya dalam fatwa “resolusi jihad” Nopember 1945, termasuk menerima Pancasila sebagai asas bernegara di Muktamar Kraprak Yogyakarta 1984, disamping pencoretan tujuh kata dalam “Jakarta Charter” dan menggantinya dengan kata “Yang Maha Esa” dalam Pembukaan UUD 1945.*
Jakarta, 22 Maret 2009 Amsar A. Dulmanan adalah Peneliti Nusantara Institute, Kordinator Nasional FK-GMNU dan kandidat Master Politik Universitas Indonesia.

(Amsar A. Dulmanan adalah Peneliti “Institut Nusantara” dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia).

Selengkapnya.....

Mahkamah Konstitusi dan Pemilu


by Supriyani

Pemilihan umum (pemilu) anggota DPR, DPD, dan DPRD telah usai. Pada 9 April 2009 lalu rakyat Indonesia telah memilih para calon wakilnya yang akan duduk di kursi senayan. Tidak sedikit masalah yang dijumpai dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009 mulai dari masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT), lambatnya distribusi logistik pemilu, sampai dengan perselisihan hasil pemilu legislatif. Kesemuanya itu merupakan “resiko” dari demokrasi yang ingin dibangun di Indonesia.

Menyikapi masalah perselisihan hasil pemilu (PHPU), Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menjadi tempat penyelesaian berbagai perkara PHPU. Terkait perselisihan tersebut, hampir semua partai politik peserta Pemilu 2009 dan beberapa calon anggota DPD telah mengajukan permohonannya ke MK. Dari 43 partai politik peserta pemilu, sebanyak 42 partai politik telah mengajukan perkaranya ke MK terkait perselisihan hasil pemilu dan sebanyak 28 calon anggota DPD juga telah melakukan hal yang sama (lihat www.mahkamahkonstitusi.go.id).


Sejarah panjang pelaksanaan pemilu di Indonesia merupakan catatan tersendiri yang patut untuk dicermati. Apalagi mengingat bahwa pembelajaran demokrasi di Indonesia sempat mengalami “kemacetan” yang luar biasa ketika masa Orde Baru di mana demokrasi tidak bisa dinikmati sebagai demokrasi yang sebenar-benarnya. Sejak pemilu pertama pada 1955 digelar sampai dengan pemilu tahun 2004, baru tercatat bahwa pada Pemilu 2004-lah merupakan pemilu yang telah menggunakan sistem komprehensif. Artinya ketika terjadi perselisihan hasil pemilu, sudah disediakan mekanisme sekaligus lembaga yang menyelesaikan sengketa pemilu yaitu MK.

Walhasil, memang sepantasnyalah harapan masyarakat sekaligus para peserta pemilu yang notabene partai politik ditumpukan pada “pundak” MK untuk menguraikan benang kusut hasil pemilu. Salah satu putusan monumental MK yaitu terkait dengan Pemilukada Jawa Timur di mana MK menyatakakan untuk melakukan Pemilukada ulang di beberapa daerah di Jawa Timur. Monumental karena baru kali pertama ini dalam sejarah pemilu bahwa pemilu/pemilukada dinyatakan tidak sah dan harus dilakukan pemungutan suara ulang. MK menilai telah terjadi pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, masif, dan sistematis sehingga berdampak besar terhadap perolehan suara.

Apakah hal yang sama (red. pemilu ulang atau penghitungan suara ulang) dapat terjadi pada Pemilu Legislatif 2009? Pertanyaan ini dapat terjawab setelah Putusan MK yang akan kita ketahui pada Juni 2009 ini. Tetapi sebelum MK mengeluarkan putusan terkait perselisihan hasil pemilu nanti, dapat kita cermati beberapa pertimbangan jika MK memang memerintahkan untuk melakukan pemilu ulang atau penghitungan suara ulang di beberapa daerah pemilihan (dapil). Pertama, dari sisi waktu. Mengingat bahwa pelaksanaan Pemilu Presiden (pilpres) 2009 akan segera dilaksanakan pada bulan Juli 2009 nanti maka mau tidak mau perlu dipikirkan konsekuensi dan imbasnya terhadap penyelenggaran pilpres. Kedua, dari sisi ongkos/biaya. Pelaksanaan pemilu ulang meskipun hanya di beberapa dapil, jelas akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit karena harus menyiapkan segala sesuatu terkait dengan pemilu ulang. Ketiga, dari sisi substansi demokrasi. Jika tidak dilakukan pemilu ulang atau minimal penghitungan suara ulang maka fakta-fakta yang dijumpai di lapangan pada saat pelaksanaan Pemilu Legislatif (yang jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan) dapat menjadi contoh yang tidak baik di masa datang terutama bagi sejarah penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia.

Ketiga hal tersebut merupakan pertimbangan-pertimbangan yang mungkin dilakukan dalam hal pemilu ulang atau penghitungan suara ulang berkait dengan perkara PHPU. Dan terlepas dari semua itu, sepanjang bahwa didasarkan atas kepentingan demokrasi dan rakyat Indonesia maka konsekuensi apapun patut untuk dilakukan meskipun akan menuai berbagai komentar baik pro maupun kontra. Menilik pada pengalaman beberapa waktu lalu, bahwa MK dalam memutus perkara Pemilukada Jawa Timur telah menegaskan dirinya sebagai penegak demokrasi substansial dan MK bukanlah juru hitung atas selisih hasil penghitungan suara sehingga pertimbangan para hakim kontitusi lebih jauh ke depan dan mendahulukan kebenaran dan ketepatan proses penyelenggaraan pemilu.

Tentunya kepercayaan itu masih bertengger kepada MK sebagai pengawal demokrasi sekaligus penjaga konstitusi. Mari kita lihat bersama.

Selengkapnya.....

Juni 02, 2009

Capres-Cawapres dan Masalah Pengangguran


Sudirman Nasir

Ketiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden—Mega-Prabowo, SBY-Boediono, JK-Wiranto—kini berlomba melempar gagasan dan program untuk merayu pemilih.

Namun, ketiganya belum tajam dan rinci menyorot soal pengangguran, salah satu masalah besar yang menyulitkan warga. SBY, misalnya, masih sebatas mendengungkan kebijakan progrowth, projobs, dan propoor atau program belanja stimulus pemerintah Rp 12,2 triliun guna mempercepat pembangunan infrastruktur sehingga membuka lapangan kerja.


Pertumbuhan

SBY (dan JK) mungkin akan mengulang kisah sukses bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi 6,2 persen pada 2008. Namun, pertumbuhan ekonomi itu tidak dengan sendirinya menurunkan jumlah pengangguran dan angka kemiskinan. Tahun 2008, jumlah pengangguran 10,55 juta jiwa (9,75 persen) dari total angkatan kerja. Dan, angka kemiskinan sekitar 34,2 juta (17,3 persen) dari jumlah penduduk. Pasangan Mega-Prabowo juga mengusung ekonomi kerakyatan, tetapi tanpa rincian lebih lanjut.

Juga sulit melepaskan kesan elite pemerintah dan politisi yang lebih melihat masalah pengangguran dan kemiskinan hanya dari sudut income deprivation atau kekurangan penghasilan.

Maka, kita pun tak heran bila di antara capres-cawapres atau elite lain tidak melihat di balik tragedi anak balita Siti Khoiyaroh, putri tunggal suami istri penjual bakso. Siti meninggal akibat tersiram kuah panas saat penertiban pedagang kaki lima oleh Satuan Polisi Pamong Praja Surabaya pertengahan Mei lalu.

”Kebencian” terhadap sektor informal, sektor yang justru menyerap banyak angkatan kerja di kalangan bawah yang memiliki modal, keterampilan, dan jaringan lemah, kian merampas hak asasi warga akan pekerjaan dan harga diri. Dalam dua dasawarsa terakhir, kian banyak literatur yang menegaskan ketiadaan pekerjaan sekaligus merupakan deprivation of esteem atau ketergerusan harga diri (Bourgois, 2003; atau Macdonald dan Marsh, 2005).

Orangtua Siti Khoiyaroh adalah contoh warga yang tiap hari berusaha mati-matian memenuhi kebutuhan dasar hidup. Mereka juga mati-matian mempertahankan harga diri dengan terus bekerja, tak mau mengemis. Namun, pemerintah sering menilai, usaha kelompok sektor informal ini menambah kesemrawutan kota. Benarkah? Padahal, kesemrawutan kota lebih disebabkan oleh kurangnya imajinasi dan ketidakteguhan pemerintah kota dalam mengelola ruang ekonomi dan ruang publik kotanya.

Warga yang bergelut di sektor informal bekerja secara halal demi hidup dan harga diri meski penghasilan dan rasa aman yang mereka peroleh tidak memadai. Alih-alih rasa aman, kelompok sektor informal justru menjadi korban kebencian pemerintah.

Permohonan maaf dan uang ganti rugi dari Pemerintah Kota Surabaya tak akan pernah mengembalikan Siti Khoiyaroh dan tidak menjamin diakhirinya kebijakan antisektor informal.

Biaya ekonomi

Para capres-cawapres dan elite politik tak lagi perlu diingatkan betapa mahalnya biaya ekonomi dan sosial akibat tingginya angka pengangguran, khususnya di kalangan muda. Banyak penelitian menunjukkan adanya hubungan ketiadaan pekerjaan dengan dorongan memulai atau melanjutkan tindak kriminalitas dan perilaku berisiko. Memang antarkeduanya tidak ada hubungan kausal. Tetapi, data-data empiris menunjukkan besarnya keterlibatan kalangan muda menganggur atau setengah menganggur dalam kriminalitas, khususnya kriminalitas jalanan (petty crime) dan perilaku berisiko.

Data kriminologi dan kesehatan masyarakat menunjukkan betapa rentan keterlibatan anak muda lelaki menganggur dalam tindak kriminalitas dan perilaku berisiko yang berujung pada risiko hukum dan kesehatan masyarakat, seperti pemenjaraan, cedera, kesakitan, hingga kematian. Banyak literatur menunjukkan, betapa aspek psikososial, jender, pengangguran dan keterlibatan dalam tindak kriminal, serta perilaku berisiko harus dipertimbangkan. Faktanya, anak-anak muda lelaki dalam rentang usia 15-24 tahun yang menganggur dan setengah menganggur paling banyak terlibat tindak kriminalitas dan perilaku berisiko. Alasannya karena hanya melalui itu mereka bisa menyalurkan identitas maskulinnya (Barker, 2005).

Barker (2005) dalam Dying to be men mengingatkan perlunya melihat masalah pengangguran bukan dari ekonomi saja, tetapi juga dari psikososial dan jender. Pemahaman para elite pemerintah yang tajam dan rinci terhadap aspek psikososial dan jender masalah pengangguran akan memengaruhi formulasi kebijakan yang akan diambil guna penanggulangan. Termasuk perlunya menilai ulang biaya sosial-ekonomi kebijakan yang antisektor informal, yang mempersempit peluang warga akan pekerjaan dan harga diri.

Sudirman Nasir Pengajar/Peneliti di Universitas Hasanuddin, Makassar; Kandidat PhD di Universitas Melbourne, Australia.

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/02/03363420/capres-cawapres.dan.masalah.pengangguran

Selengkapnya.....

Renungan

Masih terbersit selintas peristiwa yang cukup mengharu-birukan suasana ketika itu. Betapa semua orang tercengang dan tak satupun mulut mereka mengeluarkan kata-kata. Perasaan yang campur anduk menghinggapi relung hati dan pikiran masing-masing. "Dahsyat", mungkin kata yang cukup mewakili untuk menggambarkan suasana hati orang-orang tersebut. Apa yang mereka lihat dan saksian merupakan hal langka di zaman ini (konon orang mengatakan zaman sekarang adalah zaman edan). Karena yang mereka saksikan merupakan pertunjukan yang jarang mereka jumpai.

Selengkapnya.....

Semiotika Iklan Sosial

Periklanan adalah fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis tanpa mengandalkan iklan. Demikian pentingnya peran iklan dalam bisnis modern sehingga salah satu bonafiditas perusahaan terletak pada berapa besar dana yang dialokasikan untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan merupakan jendela kamar dari sebuah perusahaan. Keberadaannya menghubungkan perusahaan dengan masyarakat. Khususnya konsumen.

Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Kegiatan pemasaran meliputi strategi pemasaran, yakni logika pemasaran yang dipakai unit bisnis untuk mencapai tujuan pemasaran (Kotler, 1991:416).

Selengkapnya.....