Oktober 07, 2009

Legislator Minimalis

Oleh Al Andang L Binawan

Anggota DPR dan anggota DPRD di daerah telah dilantik meski sedikit orang yang optimistis.

Alasannya bukan karena biaya pelantikan yang amat besar, tetapi dari keberadaan mereka. Bahkan, Budiman Sudjatmiko, yang mewakili petani dan nelayan Banyumas, secara implisit menuliskan, betapa sulit perjuangannya (Kompas, 2/10/2009).

Minimalisme legislator

Pesimisme terhadap para legislator baru sebenarnya sudah bisa diduga secara common sense. Mereka adalah produk dari sebuah paket undang-undang politik, termasuk UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, yang pada dasarnya adalah sebuah produk negosiasi politik. Salah satu kata kunci dari negosiasi politik adalah kompromi, dan karena itu produk hukumnya akan bersifat minimal. Logikanya menjadi jelas: produk hukum yang minimal pasti juga akan menghasilkan produk legislator yang minimal.


Sifat minimal ini jelas menimbulkan pesimisme. Hal ini diungkapkan oleh Koordinator Divisi Riset Indonesian Parliamentary Center, Ahmad Hanafi (Kompas, 3 Oktober 2009). Baginya, alasan pokoknya adalah bahwa sebagian besar (71 persen) anggota DPR adalah muka baru. Dikhawatirkan bahwa kurangnya pengalaman ini membuat kinerja DPR dalam membuat undang- undang menjadi tersendat.

Jelas ada alasan lain yang lebih hakiki. Menurut data, sebanyak 63,7 persen anggota DPR 2009- 2014 ternyata tinggal (sesuai dengan KTP) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, serta Bekasi, dan bahkan hampir separuh (45,5 persen) dari total jumlah anggota legislatif pusat bertempat tinggal di DKI Jakarta (Kompas, 16 Juni 2009). Data ini menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana mereka bisa menjadikan dirinya sungguh mewakili daerah pilihannya? Tentu, banyak yang bisa mengelak bahwa kartu tanda penduduk (KTP) hanya tempat tinggal dan relasi antara yang mewakili dan yang diwakili bisa dijalin dengan cara lain.

Akan tetapi, data itu tetap saja memberi keraguan besar pada klaim bahwa anggota DPR sungguh adalah wakil rakyat. Di satu sisi pertanyaan akan terkait dengan proses keterpilihannya, apakah sungguh berdasar suatu prinsip demokrasi yang sesungguhnya atau sekadar demokrasi prosedural. Pengalaman dalam pemilu yang lalu menunjukkan bahwa popularitas dan uang menjadi kunci penting dari keterpilihan seorang calon anggota legislatif. Cukup banyak artis atau selebriti dan pengusaha yang bisa meraih banyak suara dan kemudian diangkat menjadi wakil rakyat.

Masih ada data lain, misalnya keprihatinan para pemerhati hak perempuan. Menurut perhitungan, hanya ada 17,5 persen perempuan anggota DPR 2009-2014. Tentu ini masih jauh dari 30 persen yang diharapkan. Tentu ada kekhawatiran bahwa produk hukum ke depan masih memuat bias jender yang besar.

Minimalisme legislasi?

Bahwa hukum bersifat minimal sebenarnya sudah dimaklumi umum. Hukum modern bukanlah hukum yang diturunkan secara deduktif dari suatu gagasan komprehensif. Hukum modern, termasuk hukum sipil di Indonesia, adalah produk dari negosiasi politik dalam kerangka besar ideologi Pancasila sebagai cakrawala dan nilai hak asasi manusia sebagai dasarnya.

Tetap diandaikan di sini bahwa setiap wakil yang bernegosiasi sungguh berfungsi maksimal. Namun, jika melihat data minimalnya—setidaknya secara kuantitatif—profil anggota DPR 2009- 2014, kekhawatiran akan makin minimalnya kualitas hukum di kurun lima tahun ke depan sangat beralasan. Apalagi, pengalaman dengan kinerja anggota DPR periode 2004-2009 menguatkan keraguan ini. Adanya anggota DPR yang suka bolos, yang korupsi, yang terlibat skandal, jelas menguatkan kekhawatiran ini. Pun, pada akhir masa baktinya, mereka masih menyisakan banyak pekerjaan rumah dengan produk hukum yang kualitasnya terasa sangat minimal. Misalnya, UU Perfilman masih memprihatinkan para pekerja film atau RUU Tipikor dikatakan masih punya banyak celah.

Pendeknya, sekali lagi, hukum adalah sebuah produk negosiasi politik. Karena itu, hukum hanya bisa menjamin keadilan minimal. Jika yang bernegosiasi juga punya kualitas minimal, sangat dikhawatirkan bahwa produk hukum nanti akan bersifat semakin minimal.

Maksimalisasi

Kekhawatiran atau pesimisme itu wajar, sangat bisa dipahami. Meski begitu, rakyat tidak banyak bisa menuntut. Yang sekarang diharapkan adalah agar pesimisme ini dijadikan tantangan bagi para legislator, bukan hanya secara pribadi, melainkan juga secara kelembagaan.

Setiap pribadi legislator mungkin memang bisa menyanggah data umum di atas dengan mengatakan bahwa hal itu tidak berlaku pada dirinya. Tidak dilarang, tentu, tetapi yang lebih diharapkan adalah bukti ke depan dengan memaksimalkan seluruh kualitas pribadinya agar memang bisa menjadi suara rakyat.

Secara kelembagaan, diharapkan dibuat mekanisme atau aturan main yang bisa menutup kekurangan umum ini. Aturan sebagai struktur eksternal akan bisa membantu para legislator ini memaksimalkan hal-hal minimalnya. Harapan yang lebih jauh, hendaknya—dengan itu—para legislator ini bisa membuat hukum yang lebih berkualitas. Produk hukum ini tentunya termasuk juga undang-undang politik yang berkualitas, yang kelak juga bisa melahirkan legislator-legislator baru yang juga lebih berkualitas. Mimpinya, dengan itu negeri ini tidak terjebak dalam lingkaran setan masalah politik dan hukum. Selamat bekerja. Selamat memaksimalkan yang minimal.

Al Andang L Binawan Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/08/02445726/legislator.minimalis

Selengkapnya.....